23 Februari 2011

Menelusuri Sungai Tak Bermuara

 Seperti kita ketahui bersama bahwa menuntut ilmu adalah sebuah pekerjaan yang sangat dicintai oleh Allah Swt, sehingga hal tersebut diwajibkan bagi kaum muslimin. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Mujadalah ayat 11,“niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Atas dasar inilah Rasulullah Saw bersabda, “menuntut ilmu itu fardhu (wajib) bagi kaum muslimin dan muslimat”. Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan bagi hamba Allah Swt.
Menulusuri sungai tak bermuara, adalah sebuah gambaran dari keistimewaan ilmu, utamanya ilmu-ilmu keislaman. Mengapa sungai tak bermuara? Penulis pilih judul ini karena seperti kita ketahui bahwa setiap sungai yang ada di permukaan bumi ini pasti ada muaranya, di mana sungai itu akan terhenti. Ilmu adalah sesuatu yang mengalir seperti halnya sungai. Sumber ilmu adalah Allah Swt. Berbeda dengan sungai, ilmu tidak memiliki muara. Ilmu adalah sebuah hal yang tidak ada habis-habisnya. Karena itu, pada saat seorang murid mempelajari ilmu, ia akan terus-menerus mendalaminya. Semakin ia dalami, ia akan merasakan bahwa kedalaman tersebut tidak pernah terhingga. Hanya umur manusialah yang membatasi seseorang dalam pencarian ilmunya. Sebagaimana pepatah Arab berkata, “tuntutlah ilmu semenjak dari buaian sampai ke liang lahat (wafat)”.
Menelusuri sungai tak bermuara, mempunyai karakteristik tersendiri. Yaitu adanya keselarasan antara ajaran agama (ilmu-ilmu keislaman) dan ilmu pengetahuan yang pada umumnya keseluruhan ilmu pengetahuan yang tidak dikhotomis (penduaan) dan independen (berdiri sendiri). Bagi para ulama dahulu, ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan umum bukanlah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali pun berupaya menjaga keselarasan ini dengan mendesain klasifikasi ilmu pengetahuan.
Dalam kitabnya Ihya Ulum ad-Din, Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua bagian: Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah. Pengetahuan Fardhu ‘Ain yang pertama dan paling mendasar adalah kalimat syahadat, yang merupakan basis kepercayaan umat Islam. Sehingga setiap anak yang telah mencapai usia baligh berkewajiban mempelajari kalimat tersebut dan memahami artinya. Ilmu-ilmu Fardhu ‘Ain lainnya, adalah segala macam ilmu yang mempunyai implikasi langsung kepada seseorang. Semisal seseorang yang mengalami datangnya bulan Ramadhan, maka wajib baginya untuk mempelajari hukum-hukum yang berkenaan dengan bulan Ramadhan. Begitu juga seseorang yang pergi untuk menunaikan ibadah haji, maka wajib baginya mempelajari tata cara haji. Namun bagi yang tidak menunaikan ibadah haji, maka tata cara tersebut tidak wajib untuk dipelajari. Alhasil, ilmu-ilmu Fardhu ‘Ain berarti segala sesuatu yang wajib dipelajari sesuai yang dikehendaki oleh keadaan. Sedangkan apa yang diketahui bahwa seseorang akan terlepas dari padanya, maka tidak wajib mempelajarinya.
Ilmu Fardhu Kifayah adalah setiap ilmu yang tidak dapat tidak dibutuhkan dalam menegakkan urusan-urusan dunia seperti kedokteran, karena kedokteran itu suatu kepastian dalam kebutuhan untuk menjaga kebalnya tubuh. Ilmu seperti ini cukup dibebani untuk sebagian orang saja, hingga jika suatu negeri tidak ada yang menegakkanya, maka penduduk negeri itu berdosa. Dan apabila seorang menegakkannya, maka cukup dan gugurlah kewajiban itu dari orang-orang lain.
Dari  klasifikasi ilmu ala Sayyidina Hujjat al-Islam al-Imam Ghazali, kita melihat bahwa  semua ilmu selain ilmu agama yang sangat diperlukan oleh keadaan adalah ilmu Fardhu Kifayah. Sedangkan ilmu agama yang berhubungan langsung dengan keadaan adalah ilmu Fardhu ‘Ain. Dari sini dapat kita lihat upaya Sayyidina Hujjat al-Islam dalam menyelaraskan segala ilmu pengetahuan dengan hukum-hukum agama. Jadi segala sesuatu dengan sendirinya selaras dan berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran Rasulullah Saw. Satu hal yang pasti, setiap Muslim berkewajiban mempelajari kalimat syahadat dan mengerti artinya. Karena kewajiban ini, segala ilmu pengetahuan yang ada dalam pandangan seorang Muslim mempunyai keselarasan dengan ajaran agama.
Keseluruhan dan keselarasan merupakan karakteristik utama dari ajaran Islam. Maka tak heran, bagi ulama-ulama yang hidup pada abad Islam pertengahan banyak merupakaan seorang faqih namun juga seorang dokter, optometrist, filsuf, seniman, dan sebagainya. Orang-orang seperti ini susah kita dapatkan di zaman sekarang, disebabkan karena adanya dikhotomis (penduaan) dan independen (berdiri sendiri) dalam mempelajari ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Paham yang menganut dikhotomis dan independen antara mempelajari agama dan ilmu pengetahuan umum itu disebut sekularisme. Satu diantara sebab mengapa umat Muslim di Indonesia mengalami kemunduran dan tertinggal dalam menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnolgi (IPTEK) adalah pengaruh dari sistem sekularisme dalam bidang pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah. Dualisme antara Depag dan Depdiknas jelas sekali terlihat. Ilmu pengetahuan agama melalui lembaga-lembaga Islam seperti madrasah, pondok pesantren dan institut agama boleh dikelola oleh Depag. Sedangkan ilmu pengetahuan umum melalui lembaga-lembaga sekolah dasar, sekolah menengah atau kejuruan dan perguruan tinggi boleh dikelola oleh Depdiknas.
Hal ini sungguh sangat kontras sekali dengan bunyi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikhotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikhotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia shalih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
Akhirnya, dengan menulusuri sungai tak bermuara ini, akan menghasilkan seorang individu atau manusia yang dalam pemikirannya terdapat  sentralitas (pemusatan) kepada Allah Swt dan dalam dirinya tergabung berbagai macam ilmu secara bersamaan dan selaras dengan keimanannya. Karena ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang bersikap menyeluruh dan tidak dikhotomis dan jebolan-jebolan yang mempelajarinya merupakan al-Insan al-Kulliyy. Wallahua’lam *)
  

           


0 komentar:

Posting Komentar