26 Januari 2010

The Power Of Santri (Dari Gubuk Pesantren Menuju Menara Peradaban)

Seiring dengan arus dinamika zaman, definisi dan persepsi terhadap kaum ‘Santri’ menjadi berubah pula. Kalau pada awalnya kaum ‘Santri’ diberi makna dan pengertian sebagai ‘orang yang menimba ilmu-ilmu agama Islam dengan sistem pengajaran yang tradisional dan klasik’. Atau sekumpulan orang-orang yang mukim dalam sebuah asrama (pondokan), dan masa belajarnya membutuhkan kurun waktu yang cukup lama, sampai si ‘Santri’ tersebut benar-benar matang menyerap semua ilmu yang telah di pelajarinya, dan siap untuk terjun langsung di masyarakat. Tetapi sekarang definisi dan persepsi tentang kaum ‘Santri’ sebagaimana dijelaskan diatas tidak lagi benar.
 Secara umum, perlu diberikan suatu keseragaman pengertian tentang kaum ‘Santri’. Mengapa? Karena sesuai dalam perkembangannya di dalam bangsa ini, kaum ‘Santri’ tidak lagi identik dengan definisi dan persepsi klasik seperti disebutkan diatas. Kaum ‘Santri’ sekarang sudah mempunyai kekuatan besar (big power) dalam menjadikan bangsa ini lebih bermartabat dan berjati diri, serta berkarakter. 
"Dengan bermodalkan tiga “H” bentuk keterampilan, yaitu: “H” pertama, Head artinya kepala, maknanya mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan, “H” kedua, Heart artinya hati, maknanya mengisi hati santri dengan iman dan taqwa (IMTAQ), dan “H” yang ketiga, adalah Hand artinya tangan, maknanya kemampuan bekerja. (Daulay, 2004: 26). Kaum ‘Santri’ sangat mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin di bangsa ini. Yang akan menjadikan masyarakat bangsa ini, masyarakat madani. Yaitu masyarakat yang pernah ada dalam sejarah keemasan Islam (masa Rasulullah), yang dalam tatanan kehidupan masyarakatnya berperadaban tinggi."
Masyarakat madani adalah masyarakat yang mempunyai lima ciri dalam tatanan hidupnya, yaitu: 1) Masyarakat Rabbaniyah, semangat berketuhanan yang berlandaskan aqidah, syari’ah, dan ahlak. 2) Masyarakat yang demokratis, di mana Rasulullah dan para sahabatnya mentradisikan musyawarah dalam segala persoalan. 3) Masyarakat toleran, masyarakat Madinah adalah masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik. Dengan mempersatukan berbagai kalangan dan etnik ini, akan tercipta persatuan dan kerjasama yang erat. 4) Berkeadilan, karena begitu pentingnya keadilan dalam sebuah tatanan hidup masyarakat, sampai-sampai Al-Qur’an menjelaskan bahwa keadilan itu mendekati taqwa. (QS. Al-Maidah: 8). 5) Masyarakat berilmu, ilmu merupakan salah satu pilar yang di tegakkan Rasul dalam membangun masyarakat Madinah. Sehingga penerapan masyarakat berilmu ini begitu urgen dalam memberantas buta huruf (aksara) di kalangan umat Islam. (Daulay, 2004: 33).
Kita ketahui bersama, dengan kehadiran “kekuatan Santri” dalam kancah perpolitikan nasional: mampukah mereka mewarnai kembali peradaban nusantara dalam membangun kekuatan bangsa dan dapat menjadi rahmatan lil ‘alaamien bagi tegaknya keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menyentuh ke seluruh wilayah negeri ini?.
 Menilik pada fenomena yang terjadi sejak akhir dekade 1990-an hingga sekarang, kaum ‘Santri’ memiliki tawaran politik yang lebih kongkret realistis, yakni melakukan pergeseran dari sekedar terlibat dalam dataran ideologis ke arena politik praktis dan berusaha membawa Islam ke dalam “lingkungan kekuasaan (power)”.
Mungkin sebagian orang akan tertawa, apabila mendengar kaum ‘Santri’ bermain politik, berkecimpung dalam tatanan ekonomi bangsa, mengadakan hubungan dengan berbagai etnik dalam masalah kehidupan sosial (pluralitas), ikut mengenalkan khazanah budaya negeri ke negara-negara lain, serta menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK).
"Namun, itu semua tidak menjadi kendala dan pemutus semangat bagi mereka dalam mengikuti kancah pergumulan politik di dalam negeri. Bahkan asumsi orang-orang yang mendoktrin kaum ‘Santri’ sebagai orang yang ketinggalan zaman dan gaptek (gagap tekhnologi), hanyalah wacana dan anggapan omong kosong belaka. Atau mungkin sebaliknya, mereka yang mendoktrin sepeti itu adalah kaum-kaum jahiliyah yang dengki terhadap kehidupan kaum ‘Santri’."
Menurut Penulis, dengan sangat yakin sekali, apabila kaum ‘Santri’ menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, akan mempunyai peran penting dalam menjadikan masyarakat bangsa ini masyarakat madani.

"Santri’ berpendidikan
Substansi dari pendidikan kaum Santri adalah pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu). Yang tentu dibarengi dengan iman dan taqwa, dan juga wawasan ilmu pengetahuan yang luas. Ada sebuah adagium yang menarik dikalangan kaum ‘Santri’ dalam masalah pendidikan, yaitu jadilah santri yang intelek, bukan cerdas dulu baru intelek.
Karena kebanyakan dari orang cerdas lebih dulu baru intelek, kehilangan hati nuraninya (dlomir). Ia tidak lagi mengenal siapa dirinya sebenarnya? Untuk tujuan apakah pendidikan yang ia capai? Serta apa itu substansi dari pendidikan?. Sebaliknya orang yang intelek dulu sudah pasti cerdas, Ia tidak akan pernah lupa hakikat dari substansi pendidikan yaitu pendidikan hati (tarbiyah al-qolbu). Apabila hatinya bersih, maka tingkah laku, gerak-gerik, dan semua tindak-tanduknya sudah pasti baik. Bukan dengan hati kotor yang akan lebih banyak mendatangkan kejelekan dan kemudlorotan. Rasulullah Saw. Bersabda: Innamal A’malu Bin Niyyat Wa Innama Likuliimriin Maa Nawaa, Sesungguhnya segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap segala perkara itu tergantung pada apa yang diniatkan.

‘Santri’ berpolitik
Santri berpolitik adalah adalah santri yang mengaktualisasi dalam wilayah politik, atau santri yang terlibat dalam kelembagaan politik. Kaum ‘Santri’ dalam berpolitik, mengikuti politik yang dipakai oleh Rasulullah dalam memimpin umat Islam, yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi (dalam arti luas). Telah ditunjukan al-Qur’an dalam bernegara dan bermasyarakat, diantaranya: musyawarah¸ ketaatan kepada pemimpin, keadilan, dan persamaan. Dengan sistem politik tersebut, Rasulullah Saw berhasil menjadikan umat Islam masyarakat yang sangat berperadaban. Yaitu masyarakat madani.
Perlu diketahui, pengertian istilah cara politik Rasulullah (politik Islami) ini tidak harus diartikan secara formal, misalnya dengan mendirikan negara Islam, khilafah Islamiah, atau partai-partai Islam. Karena Secara historis, Nabi Muhammad sendiri tidak pernah menyebut negara Islam. Yang ada hanya negara Madinah (madani). Apakah Saudi Arabia yang mengklaim sebagai negara dengan ideologi Islam pantas disebut negara yang lebih Islami daripada Indonesia misalnya?

‘Santri’ berekonomi
 Mendengar kalimat diatas, bukan lagi barang baru yang ada di dalam kehidupan kaum ‘Santri’. Sudah banyak lembaga-lembaga pesantren yang membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu berwirausaha (enterpreuneurship). Bahkan ada sebuah pesantren di desa Nglaren, Yogyakarta yang berslogankan “Mengaji Menuju Santri Enterpreuneur”. Yaitu disamping si Santri belajar ilmu-ilmu agama, mereka juga belajar dan di ajari tentang ilmu-ilmu sistem perekonomian Islam (syari’ah).
Selain itu, kaum Santri juga disiapkan untuk menjadi sumberdaya-sumberdaya manusia yang berkarakter nubuwwah, yaitu: memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai (fathonah), memiliki integritas terhadap penegakan kebenaran (shiddiq), memiliki kepekaan terhadap perubahan keadaan, informatif dan komunikatif (tabligh) dan memegang teguh komitmen yang telah direncanakan dan disepakati (amanah).
Kalau kita lihat perkembangan ekonomi dunia yang masih belum stabil pertumbuhannya hingga saat ini, ternyata sistem perekonomian yang berbasiskan Islam (syariah), lebih eksis dan bahkan semakin menjulang tinggi pertumbuhannya. Ini menandakan sistem perekonomian Islam (syari’ah), merupakan sistem yang sangat efektif apabila digunakan untuk tatanan perekonomian bangsa. 

‘Santri’ bersosial
Semua orang mungkin sudah mengetahuinya, bagaimana dan seperti apa kehidupan kaum Santri dalam kesehariannya? Di pesantren manapun, di desa ataupun dikota, lembaga-lembaga pesantren selalu mendidik para Santrinya untuk hidup bersosial antar sesama.
Sebagaimana kata Gus Dur (alm), pesantren adalah sebagai lembaga integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial. Karena pesantren seperti dunia akademik dan memiliki cirri khas tersendiri, bertanggung jawab atas berbagai fenomena sosial yang berkembang dan berdampak negative bagi kelangsungan hidup manusia.
Pesantren juga, menanamkan pasa Santrinya dengan nilai-nilai yang memiliki cita sosial yaitu nilai keadilan, perdamaian, kejujuran, tanggung jawab dan membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Bourdieu mengungkapkan bahwa dalam praktek sosial terdapat ‘konsep’ ynag ,menggerakan suatu tindakan sosial, yaitu ‘habitus’ dan ‘field’, yang didukung oleh kekuasaan simbolik, strategi, dan perjuangan.

‘Santri’ Berbudaya
Kaum Santri mempunyai andil besar dalam memahami nilai-nilai budaya bangsa. Karena mereka mengetahui potret perjalanan pesantren di Indonesia. Islam berkembang di dalamnya dengan perantara khazanah budaya-budaya yang ada di Indonesia.
Pesantren dikenal sebagai “counter culture”, maka semestinya pesantren mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan cirri khas budaya yang bersifat dinamis dan statis. Para Santri pun dituntut untuk ikut mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan sifat dan cirri khas budaya tersebut. Disinilah wadah untuk memastikan, apakah kaum Santri bisa mengikuti modernitas di era globalisasi ini dengan tetap berpegang kepada khazanah budaya bangsa?.
Untuk itulah “The Power of Santri” Dari Gubuk Pesantren Menuju Menara Peradaban, menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti dan diketahui. Melihat keadaan bangsa yang tak kunjung selesai ditimpa masalah-masalah. Dengan peran serta kaum Santri diarena perpolitikan bangsa, mampukah mereka merekonstruksi, mereaktualisasi, dan mereposisi di hadapan kekuatan-kekuatan lain dalam menciptakan bangsa yang madani, yaitu Indonesia baru yang agamis, bermoral dan lebih beradaban (civilized). Wa Allahua’lamu bishowab.**

17 Januari 2010

Bulan Safar, Antara Mitos Dan Realitas

Safar adalah nama bulan kedua dalam kalender Islam atau kalender Hijriyah yang berdasarkan tahun Qomariyah (perkiraan bulan mengelilingi bumi). Safar berada diurutan kedua sesudah bulan Muharram. Asal kata Safar dari Shafar. Yang menurut bahasa (linguistik) berarti kosong, ada pula yang mengartikannya kuning. Sebab dinamakan Safar, karena kebiasaan orang-orang Arab zaman dulu sering meninggalkan tempat kediaman atau rumah mereka sehingga kosong untuk berperang menuntut pembalasan atas musuh-musuh mereka. Ada pula yang menyatakan, nama Safar diambil nama suatu jenis penyakit sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Arab jahiliyah pada masa dulu, yakni penyakit Safar yang bersarang di dalam perut, akibat dari adanya sejenis ulat besar yang sangat berbahaya. Kita kenal penyakit itu sekarang dengan nama penyakit Kusta. Ada pula yang menyatakan, Safar adalah sejenis angin berhawa panas yang menyerang bagian perut dan mengakibatkan orang yang terkenanya menjadi sakit.
Di dalam bulan ini, ada juga kalangan umat Islam mengambil kesempatan melakukan perkara-perkara ibadah khurafat yang bertentangan dengan syariat Islam. Ini terjadi karena menurut kepercayaan turun-temurun sesetengah orang Islam yang jahil, bulan Safar ini merupakan bulan turunnya bala bencana dan mala petaka, khususnya pada hari Rabu Wekasan yaitu hari rabu minggu terakhir dibulan Safar. Sehingga ada Beberapa kepercayaan masyarakat tentang adanya mitos pada bulan safar ini, sebagaimana yang diyakini oleh kalangan masyarakat Sunda dan Banjar baik dari yang paling muda sampai yang paling tua.
Menurut masyarakat Sunda
Safar adalah bulan yang dianggap pamali untuk mengadakan pesta perayaan, seperti hajat pernikahan atau sunatan anak. Mereka sangat mempercayai tentang mala petaka yang akan turun pada Rabu Wekasan. Setidaknya menurut mereka ada dua musibah yang akan terjadi pada bulan ini, yaitu:
1. Paceklik Order
Berbeda dengan bulan Raya Agung (hari raya Idul Adha) yang ramai dengan acara hajatan terutama di akhir pekan, di bulan Safar janur kuning tidak lagi terlihat menghiasi gang dan gedung-gedung serbaguna. Masyarakat Sunda enggan untuk melangsungkan pesta perayaan pada bulan  ini. Menurut Ahmad Gibson Al-Busthomi, seorang seniman Sunda, dalam sebuah diskusinya yang menyatakan bahwa dalam masyarakat Sunda tidak dikenal system perhitungan hari baik (astrologi) seperti dalam masyarakat Jawa. Namun, larangan melangsungkan pesta pernikahan atau sunatan ternyata sangat kuat tertancap dalam benak masyrakat. Mereka meyakini ikatan pernikahan yang dilakukan di bulan Safar tidak akan abadi, dan kedepannya akan sulit untuk mendapatkan keturunan (Zuriat).
Hal ini kemudian diperkuat dengan pandangan bahwa bulan Safar adalah bulan kawin anjing. Di beberapa wewengkon tatar Sunda, terutama daerah yang dekat dengan hutan dan masih terdapat anjing liar, pada bulan ini sering terdengar gonggongan dan lolongan anjing. Anjing-anjing tersebut sedang naik birahi dan melakukan perkawinan. Oleh karena itu orang Sunda cadu menikah di bulan ini, karena mereka tidak mau disamakan dengan binatang yang dianggap najis itu.
Kondisi tersebut tentu saja membawa pengaruh ekonomis kepada orang-orang yang bergelut di bisnis pesta hajatan. Para pengusaha perencana pernikahan, seniman, termasuk mubaligh mengalami paceklik order, tidak ada yang mengundang. Mereka akhirnya”berpuasa” untu manggung, bahkan beberapa diantaranya wayahna harus banting setir pindah pekerjaan di bidang lain untuk sementara waktu. Keadaan paceklik order ini baru berakhir tatkala bulan mulud tiba. Dalam sebuah peribahasa Sunda disebutkan “kokoro manggih mulud” orang yang sedang sengsara kemudian mendapat rezeki yang besar seperti bulan mulud. Para pekerja bisnis hajatan yang di bulan Safar dalam kondisi tiseun (sepi order), memasuki bulan mulud mereka kembali merema (banyak order).
2. Bulan Balae
Bulan Safar juga diyakini sebagai bulan balae (bulan bencana). Keyakinan ini sudah terpatri kuat dalam benak masyarakat Sunda. Di bulan ini turun 70.000 penyakit untuk satu tahun ke depan. Berbagai musibah dan bencana juga banyak muncul dibulan ini. Lihat saja berbagai bencana yang saat ini terus melanda beberapa daerah Indonesia, menurut beberapa kalangan Sunda tradisional itu merupakan pertanda akan mitos tersebut. Mitos bulan bencana ini juga diperkuat dengan cerita sejarah kehancuran masyarakat zaman dahulu. Sejak zaman dahulu bencana senantiasa diturunkan di bulan Safar. Allah telah menghukum kaum yang tidak beriman seperti kaum ‘Aad dan Tsamud pada bulan ini.
Masyarakat Sunda pun meyakini bala bencana akan menjauh dan terbebas darinya, apabila menjalani ritual tolak bala dan bersedekah. Ritual tolak bala dilangsungkan dengan cara memanjatkan do’a dan mandi di pantai, sungai atau tempat-tempat keramat tertentu untuk membuang sial. Di masyarakat Cirebon ritual mandi Safar dikenal dengan ngirab.
Menurut masyarakat Banjar
Bagi orang Banjar, bulan Safar dianggap sebagai “bulan sial, bulan panas, bulan diturunkannya bala, dan bulan yang harus diwaspadai keberadaannya”. Karena pada bulan ini, segala penyakit, racun, dan hal-hal yang berbau magis memiliki kekuatan yang lebih dibanding pada bulan lainnya. Dalam anggapan masyarakat kesialan bulan Safar akan semakin meningkat jika ketemu dengan Arba’ Musta’mir.
Karenanya menjadi semacam kebiasaan bagi orang Banjar untuk melakukan hal-hal tertentu untuk menghindari kesialan pada hari itu, misalnya; 1) Sholat sunnah mutlak disertai doa tolak bala, 2) Selamatan kampung, biasanya disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum, 3) Mandi Safar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik. Mandi Safar ini menjadi atraksi wisata menarik di Kal-Teng yang dipromosikan. Mandi Safar ini merupakan tradisi masyarakat yang mendiami tepian sungai Mentaya, 4) Tidak melakukan atau bepergian jauh, 5) Tidak melakukan hal-hal yang menjadi pantangan, dan sebagainya. Bagi orang Jawa, untuk menyambut Arba’ Musta’mir (Rebo Wekasan) biasanya dilakukan dengan membuat kue apem dari beras, kue tersebut dibagi-bagikan kepada tetangga.
Hal lain yang juga menarik untuk diamati adalah, adanya anggapan orang Banjar bahwa anak-anak yang dilahirkan pada hari Arba’ Musta’mir jika sudah agak besar akan menjadi anak yang nakal dan hiperaktif. Sehingga untuk mencegah anak tersebut agar tidak nakal, disyaratkan agar sesudah ia lahir ditimbang (batimbang).
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan peredaran waktu, kepercayaan masyarakat Sunda maupun masyarakat Banjar sebagaimana dijelaskan diatas, memang  sudah mulai berkurang dan mengalami perubahan, tidak seperti dulu lagi dalam memandang bulan Safar. Dan tentu saja, masih ada beberapa orang yang menganggap Safar sebagai bulan kesialan, penuh bencana, penyakit, panas, dilarang melangsungkan pesta pernikahan atau sunatan, dan nahas.
Dalam  kalangan masyarakat Sunda kepercayaan atau keyakinan tersebut dipandang memiliki benang merah dengan kearifan lokal (local wisdom). Larangan untuk melakukan aktivitas hajatan di bulan Safar memang tepat, karena di bulan ini kondisi cuaca seringkali tidak bersahabat. Larangan ini juga bisa diposisikan sebagai penumbuh kesadaran tentang keseimbangan hidup. Masyarakat diajarkan ada waktunya untuk bersuka cita, bergembira dan berpesta, serta adakalanya pula harus beristirahat dan bersiap-siap mengahadapi cobaan, derita dan duka cita. Dengan begitu akan tumbuh kesadaran hidup yang lebih hakiki.
Tolak bala dengan banyak memberi sedekah mengandung makna solidaritas sosial, “paheuyeuk-heuyeuk leungeun” atau saling membantu dan saling menolong. Tatkala di bulan ini tidak ada pesta hajatan, orang-orang miskin yang biasa membantu menjadi kehilangan sumber rezeki. Dengan sedekah mereka kembali mendapatkan topangan hidup.
Sedangkan, di kalangan masyarakat Banjar kepercayaan atau keyakinan tentang mitos bulan Safar ini, menurut penulis, boleh jadi karena memang banyak kasus atau kejadian yang menimpa orang Banjar dan kebetulan pas di bulan Safar. Sehingga karena seringnya terjadi apa yang ditakuti oleh orang Banjar di  atas pada bulan Safar, lalu mereka menjustifikasi bulan Safar sebagai bulan penuh kesialan, marabahaya, dan seterusnya. Akibatnya, dalam perspektif orang Banjar, bulan Safar adalah bulan yang harus diwaspadai dan ditakuti. Pantang bagi mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan penting di bulan Safar, misalnya perkawinan, membangun batajak (rumah), menurunkan kapal, bepergian jauh (madam), memulai usaha (dagang, bercocok tanam), mendulang emas atau intan, dan sebagainya. Sebab, ujung dari semua kegiatan tersebut dalam pemahaman mereka adalah kegagalan dan kesusahan, dan khusus bagi mereka yang mendulang sangat rentan terkena racun atau wisa.
Nah, untuk itulah menjadi hal yang signifikan merekonstruksi kepercayaan dan keyakinan (pemahaman) masyarakat terhadap bulan Safar, agar tidak menjadi sebuah mitos dan trauma yang menakutkan. Karena, dalam catatan sejarah Islam sendiri banyak peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dibulan Safar, antara lain: 1) Berlangsungnya perkawinan Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah binti Khuwalid, 2) Peperangan pertama yang diikuti Rasulullah Saw, yakni perang ‘Wudan’ atau ‘Abwa’ untuk menentang kekufuran, 3) Peperangan Zi-Amin dan Bi’ru Ma’unah yang terjadi pada tahun ke-3 dan ke-4 Hijriyah, dibawah pimpinan Al-Munzir bin ‘Amr As Sa’idiy, 4) Perang Khaibar terhadap orang-orang Yahudi, terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah, 5) Peperangan Maraj Rahit pada tahun ke-13 Hijriyah di pinggiran kota Damaskus (Syiria) di bawah pimpinan Khalid bin Al-Walid, 6) Pelantikan ‘Abd. Rahman Al Ghafiqiy sebagai Gubernur Andalusia (Spanyol) pada thun 113 H, 7) Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (ulama besar Kalimantan) dilahirkan pada tanggal 15 Safar 1122 H, dan lain-lain. Dengan demikian bulan Safar tidak selalu identik dengan bulan kejelekan atau bulan kesialan.
Al-Quran dengan tegas menyatakan: “Katakanlah (wahai Muhammad), tidak sekali-kali akan menimpa kami sesuatu pun melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung yang menyelamatkan kami dan kepada Allah jualah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal.” (QS. At-Taubah 51). Pada ayat yang lain: “Jika kamu ditimpa musibah, maka katakanlah “Innaalillahi wa Inaailaihi Raaji’uun”. Inilah sepatutnya yang menjadi pegangan umat Islam dalam memaknai bulan Safar dan hal-hal yang terjadi di dalamnya dengan  memperbanyak amal ibadah, dzikir, doa, sedekah, guna lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Rasulullah Saw sendiri menamai bulan Safar sebagai bulan sunnah atau Safar Al-Khair. Waallahu A’lamu Bishowab

03 Januari 2010

Buat Arek ZEALVANOZA "One In Love"


Anekdot "ZEALVANOZA"
Sebelum keluar rumah Vintul sarapan Cisburger dengan minum Susu. Sebelum di minum di Ublek-ublek terdahulu, setelah itu Ia pergi ke tempat Rental komputer. Dalam perjalanan pulang Ia kehausan, lalu Ia membeli es Cendol dan Donat. Beberapa tahun kemudian, Ia menikah dan istrinya tidak memiliki Zat Zigot di dalam rahimnya. Sehingga Ia tidak bisa hamil. Setiap kali adzan berkumandang Ia selalu pergi ke Masjid. Namun pada waktu itu tidak Imam, Ia pun langsung menganbil air wudhu. Beberapa saat kemudian….. eh.. Ia terpeleset karena menginjak cikotok Lantung, terus celananya sho-ek. Ketika Ia mau mejahit Ia pulang melewati phank phen, eh, ketemu Mas Ning Nong. Lalu Ia lari Gubad-Gebod terus menabrak Window. Eh…….dimarahin sama Bozsss....!


Dari      : Opas Pacinko
To        : Anak-anak ZEALVANOZA*)
Semburat Senyum
Pagiku basah, embun mendesah
Bersama kuncup-kuncup bangsa
Mengkaji masa
Duduk berbaris rapi
Membentuk senyuman dan kusuk
Belum materi-materi pagi
Setiap hari Ku masuki
Tanpa muak dihati
Sore pun mengaji
Dengan masjid dan kertas-kertas
Pertemuan malam pun tak dapat Ku hindari
Hingga Aku suntuk
Di akhir pengabdian
Semua terukir senyuman
Membentuk bibir kepuasan
Aku hanya bisa tertawa haru
Menyaksikan perpisahan
Makna Sebuah Nama
I mpian seorang pemuda
S ebagai seseorang yang berarti
H anya satu keinginannya
L alu Ia bekerja keras
A gar tercapai segala usahanya
H arapan insan yang mulia
U ntuk dapat satu kepuasan
D ari dalam keabadian cinta
D an terus berkobar di dalamnya
I nilah harapan dan keinginannya
N amun, cobaan tak pernah hilang merintanginya

Siswa (Cerdas), Milik Siapa?

Akhir-akhir ini wacana tentang keberadaan siswa cerdas dalam sistem pendidikan hangat dibicarakan. Diskusi
tentangnya sering mengacu pada pertanyaan pengelolaan, pendampingan, status, dan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.Tanpa pemahaman jernih tentang antropologi pendidikan yang integral, pembahasan tentang anak-anak istimewa ini hanya akan memuaskan kepentingan kelompok tertentu dan menjadikan mereka korban instrumentalisasi pendidikan. Lebih dari itu, visi keadilan sosial dalam pendidikan terabaikan karena kebijakan pendidikan dikelola dengan pendekatan elitis.
Visi tentang manusia
Pertanyaan teknis dan programatis tentang pendidikan anak cerdas hanya akan berkutat pada masalah pinggiran saat pendidik dan pengambil kebijakan tidak memiliki visi mendalam tentang manusia yang dididik. Gagasannya, anak cerdas sudah seharusnya ”dijadikan milik negara” (Kompas, 2/2), jelas mendasarkan diri pada pemahaman sempit antropologi pendidikan. Di sini, yang diutamakan bukan pertumbuhan anak, tetapi lebih mengarah pada instrumentalisasi anak didik yang mengobyekkan mereka demi kepentingan lain selain demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri.
Demikian juga program kelas akselerasi yang marak terjadi. Program ini jauh dari gagasan manusia sebagai individu unik. Manusia diredusir melulu pada kemampuan otak sehingga kapasitas ini perlu dikarbit pertumbuhannya melalui jalur khusus. Parahnya, kelas akselerasi sering menjadi kedok untuk mengeruk dana masyarakat dengan dalih ekselensi akademis. Faktanya, materi pembelajaran dipadatkan tanpa diferensiasi proses pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
Setali tiga uang. Model pendampingan pendidikan khusus dengan cara karantina demi persiapan olimpiade juga perlu dikritisi. Model pendidikan seperti ini lebih merupakan instrumentalisasi anak-anak cerdas demi prestise kepentingan kelompok tertentu, entah itu ”bangsa”, ”negara”, atau ”Departemen Pendidikan Nasional”.
Memang anak-anak cerdas itu perlu didampingi. Namun, pendampingan itu harus dilandasi dengan motivasi demi pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai pribadi unik dan layak mendapat layanan pendidikan sesuai dengan dinamika perkembangan kepribadiannya. Selain itu, sebagai makhluk sosial, individu tidak akan tumbuh sehat jika model pendidikan lebih berupa pemisahan daripada integrasi dan interaksi aktif dengan rekan sebaya.
Selama ini, program pendampingan anak-anak cerdas lebih didasari asumsi manusia berharga karena otaknya. Karena itu, sebelum membuat program pendidikan bagi anak cerdas, pendidik dan pengambil kebijakan harus kritis bertanya tentang antropologi pendidikan yang ada di balik setiap perencanaan pendidikan.
Milik kemanusiaan
Tidak ada yang memiliki hak untuk mengklaim atas kepemilikan anak-anak cerdas itu selain sejarah kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjalanan sejarah, kehadiran anak-anak cerdas ini telah memperkaya kemanusiaan yang membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih bermartabat melalui olah pikir, olah hati, dan olah fisik yang mereka miliki. Karena itu, mengklaim kehadiran anak-anak cerdas sebagai milik kelompok tertentu merupakan wacana yang sesat sebab mereka tidak milik siapa-siapa selain milik kemanusiaan itu sendiri. 
Jika anak-anak cerdas itu menjadi milik kemanusiaan, maka melalui pengetahuan, bakat, dan kecerdasannya, mereka mampu menyumbangkan perbaikan bagi masyarakat. Kehadiran anak-anak cerdas juga perlu menjadi berkat bagi kemanusiaan yang lain dan tidak bisa diklaim atau dibatasi dalam membagi pengetahuan dan kekayaan kepada orang lain. Karena itu, segregasi, pemisahan, karantina jelas bertentangan dengan hakikat pendidikan dan keberadaan anak-anak cerdas itu sendiri.
Di sinilah visi keadilan sosial perlu ditumbuhkan di kalangan pendidik dan pengambil keputusan. Banyak teori pendidikan menunjukkan, pengetahuan yang dibagikan itu akan memperkaya kemanusiaan dan masyarakat daripada disimpan dan dimiliki seorang diri. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu terbentuk dan berkembang karena perjumpaan dengan orang lain. Dalam perjumpaan dengan orang lain inilah ilmu itu berkembang. Ilmu yang dibagikan tidak membuat si pemilik ilmu itu kian miskin, bahkan ia menjadi semakin kaya.

Menyesatkan

Dari sisi antropologi pendidikan, wacana ”anak cerdas” sebenarnya menyesatkan sebab paradigma ini membagi dua kelompok manusia, cerdas dan tidak cerdas. Padahal, istilah ”anak cerdas” ini pun sering hanya didasarkan pada satu kriteria, yaitu kemampuan akademis belaka.
Kini, kita kian tahu, ada banyak jenis kecerdasan. Maka, wacana ”anak cerdas” bisa mengecoh para pendidik dan pengambil keputusan untuk memprioritaskan yang satu melebihi yang lain. Faktanya, sebenarnya tidak ada yang disebut ”anak cerdas” sebab tiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri.
Wacana tentang ”anak cerdas” muncul karena ada berbagai kepentingan yang ingin menjadikan mereka alat kepentingan sempit daripada mendasarkan diri pada keprihatinan asasi pendidikan yang menganggap tiap anak berhak mendapat layanan pendidikan prima sebab pada dasarnya tiap anak adalah anak-anak cerdas. Pemahaman sempit tentang antropologi pendidikan yang meredusir anak cerdas sekadar instrumentasi kepentingan dalam jangka panjang akan merugikan anak itu sendiri, bahkan merugikan masyarakat.
Layanan prima
Setiap anak memiliki potensi kecerdasan dan hak untuk mendapat layanan prima dalam pendidikan sehingga seluruh potensi kemanusiaan dan kepribadiannya bertumbuh secara integral dan utuh. Separasi, karantina, program akselerasi, dan pendewaan ide ”anak cerdas” sebagai lebih penting daripada keyakinan bahwa ”semua anak adalah cerdas” menunjukkan adanya cacat pemahaman terhadap antropologi pendidikan yang dianut pendidik dan pengambil kebijakan. Instrumentalisasi anak-anak cerdas demi nafsu kelompok kepentingan tertentu harus dihentikan, diganti dengan program pendidikan yang lebih menghargai perkembangan dan pertumbuhan diri anak didik secara integral tanpa mencabut anak didik dari lingkungan sosialnya. Jika ini terjadi, kita akan memetik buah-buah kehadiran mereka bagi masyarakat sebab pada hakikatnya anak-anak itu adalah milik kemanusiaan, bukan milik segelintir orang yang memanfaatkan mereka demi prestise, harga diri, dan kepentingan sempit mereka sendiri.
 Oleh: Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/17/23545189/siswa.cerdas.milik.siapa